Sejarah Islam di Leh, Ladakh

Abdurrahman Hanif
3 min readSep 1, 2024

--

Setelah menulis tentang sejarah Islam di Lhasa, Tibet, aku menemukan buku penting berjudul “The Kingdom of Ladakh” karya Luciano Petech, seorang sejarawan Italia terkemuka. Buku ini, yang diterbitkan pada tahun 1977, mengungkap sejarah mendalam kerajaan Himalaya ini dari tahun 950 hingga 1842.

Buku ini adalah hasil penelitian mendalam Petech selama puluhan tahun, yang menggabungkan berbagai sumber dari Tibet, Persia, dan Eropa, memberikan gambaran komprehensif tentang Ladakh. Salah satu aspek menarik yang dibahas oleh Petech, dan yang ingin aku eksplorasi lebih lanjut, adalah interaksi antara Ladakh dan dunia Muslim.

Peta Ladakh dalam buku A History of Western Tibet oleh A.H. Francke, 1907

Little Tibet

Ladakh, yang terletak di pegunungan Himalaya, dikenal dengan pengaruh budaya dan agama Tibet yang kental. Namun, penyebaran Islam di Kashmir mulai mengubah dinamika di Himalaya Barat. Pada tahun 1663, Kaisar Mughal Aurangzeb mengunjungi Kashmir. Raja Ladakh saat itu, Deldan Namgyal, khawatir dengan kemarahan Mughal karena ayahnya, Sengge Namgyal, pernah berjanji untuk membayar upeti setelah kalah dalam perang, tetapi janji tersebut tidak pernah dipenuhi.

Untuk menghindari konflik, Deldan Namgyal mengirim utusan untuk menemui Aurangzeb dan menyatakan kesetiaannya. Utusan tersebut menyampaikan bahwa Deldan bersedia memenuhi tiga janji: membangun sebuah masjid, menyebarkan khutbah (atau dakwah), dan mencetak koin dengan nama kaisar Mughal.

Setelah Aurangzeb meninggalkan Kashmir, Deldan sempat berpikir untuk tidak menepati janji tersebut. Namun, Aurangzeb dikenal sebagai sosok yang tidak bisa dianggap enteng, terutama dalam hal agama. Dua tahun kemudian, Saif Khan, Gubernur Kashmir, mengirim utusan bernama Muhammad Shafi dengan titah kekaisaran yang memerintahkan Deldan untuk menerima kekuasaan Mughal dan Islam, serta mengancam akan melakukan invasi jika menolak.

Karena ancaman tersebut, Deldan Namgyal akhirnya menerima kekuasaan Mughal. Muhammad Shafi disambut enam mil dari Leh oleh raja dan pejabat tinggi, yang dengan hormat menerima titah kekaisaran dan segera memenuhi permintaan: pembacaan khutbah, penyebaran Islam, pencetakan koin atas nama kaisar, dan pendirian masjid. Tidak diketahui apakah koin benar-benar dicetak; hingga saat ini, tidak ada koin yang tersisa. Deldan Namgyal juga mengadopsi nama Muslim ‘Aqibat Mahmud Khan. Masjid yang dibangun, kini dikenal sebagai Masjid Jama di Leh, adalah sebuah bangunan sederhana yang dibangun oleh Shaikh Muhi ud-din pada tahun 1077 H (1666–1667). Informasi tentang penyelesaian masalah ini diterima oleh Aurangzeb pada 11 Jumadil Akhir tahun kedelapan pemerintahannya, atau 19 Desember 1665.

Photograph by Monisha Ahmed, 2005; courtesy LAMO Visual Archive
Alun-alun di depan Jama Masjid sering digunakan untuk pertemuan umum dan sebagai tempat pedagang menjual barang dagangan mereka. Pada sore hari, banyak wanita berkumpul di sini untuk menjual sayuran. Foto oleh Rupert Wilmot, 1934; cortesy R. Wilmot, R. Bates, dan N. Harman, dari Lost World of Ladakh: Early Photographic Journeys in Indian Himalayas, Stawa Publications, 2015.

Pengaruh Budaya Islam di Ladakh

Hubungan antara Ladakh dan dunia Muslim semakin erat ketika beberapa raja Ladakh menikahi putri-putri Muslim dari Baltistan, wilayah yang juga berada di bawah pengaruh Muslim. Pernikahan ini memperkuat hubungan politik dan mempererat ikatan budaya antara kedua wilayah. Selain itu, pedagang Muslim memainkan peran penting dalam jalur perdagangan yang melintasi Ladakh, membawa berbagai barang dari seluruh dunia yang memperkaya kehidupan ekonomi dan budaya lokal. Menjelang awal abad ke-19, beberapa wilayah di Ladakh, seperti Purig, telah memiliki populasi Muslim yang signifikan, menunjukkan pengaruh budaya Islam yang semakin mendalam di wilayah tersebut.

Bacaan Lanjutan:

“The Kingdom of Ladakh” oleh Luciano Petech

“Lost World of Ladakh: Early Photographic Journeys in Indian Himalayas” oleh Rupert Wilmot, R. Bates, dan N. Harman

“History of Western Tibet” oleh A.H. Francke

--

--