Mengunjungi Beberapa Pemukiman Tua di Jakarta
Jakarta adalah kota yang sangat bersejarah di Indonesia. berawal dari kota perdagangan bernama Sunda Kelapa, berganti nama menjadi Batavia sebagai markas utama VOC di Hindia Belanda, hingga menjadi Ibukota Republik Indonesia sekarang. Meskipun berkali-kali berganti nama dan penguasa satu hal yang tetap sama dengan Jakarta adalah sebagai tempat peleburan budaya dari berbagai suku bangsa di Nusantara dan juga dari luar negeri. Jadi terdapat banyak peninggalan bangunan dan kultur yang dibawa para pendatang ke wilayah tertentu di Jakarta. Saya berkesempatan mengunjungi beberapa tempat tersebut.
Lokasi Pertama: Masjid Jami’ Keramat Luar Batang
Setelah makan siang, kami berangkat menuju Masjid Luar Batang yang berada di Penjaringan, Jakarta Utara. Kami mengunjungi saat sebelum Ashar. Kami berkeliling di sekitar kompleks masjid mengobrol dengan penjual air keramat yang berasal dari sumur di sebelah makam. Kami juga membeli kerudung untuk teman saya agar bisa ke dalam masjid.
Dalam buku Ensiklopedia Jakarta, Sejarah berdirinya kompleks keramat itu berawal dari kedatangan seorang pemuda berasal dari daerah Hadhramaut, Yaman Selatan, datang ke Batavia pada awal abad ke-18. Pemuda yang dilahirkan dalam keadaan yatim piatu itu hijrah ke Batavia melalui Pelabuhan Sunda Kelapa. Pada saat itu Pelabuhan Sunda Kelapa termasuk Pelabuhan yang paling ramai di pulau Jawa.
Di kawasan rawa-rawa dan terdapat banyak pohon bakau, terletak di bagian barat Sunda Kelapa yang berbentuk teluk itulah dibangun surau (musala) oleh Alhabib Husen sebagai tempat beribadah dan bershalawat.
Di tempat itulah, ia berdakwah agama Islam dan banyak penduduk yang datang untuk mohon doa. Pada suatu malam sang Habib dikejutkan seorang pendatang, dengan pakaiannya basah kuyup mohon pertolongan dari kejaran tentara VOC. Dia adalah tawanan dari sebuah kapal dagang Tionghoa yang akan dikenakan hukuman mati. Menjelang tengah hari datanglah pasukan berkuda VOC, mereka berusaha mengejar tawanan tersebut dan merampasnya dari tangan Habib Husein, dengan tegar Habib membela tawanan itu.
Akhirnya warga Tionghoa itu terbebas dan masuk ajaran agama Islam. Bahkan ia menjadi asisten Habib Husein dalam menegakkan agama Islam. Suatu ketika pemerintah VOC sempat menahan Habib Husein dan pengikutnya di Glodok Kota. Alasannya, pemerintah Belanda khawatir kegiatan syiar agama Habib dapat mengganggu ketertiban. Belakangan akhirnya dibebaskan bahkan pemerintah Belanda minta maaf atas penahanan itu.
Namun ada suatu keajaiban saat Habib Husein yang ditahan di ruang khusus dengan ukuran kecil dan sempit terpisah dengan pengikutnya yang berada di ruang besar. Namun, setiap Subuh penjaga tahanan melihat Habib berada di ruang besar menjadi imam salat di tahanan tersebut.
Semasa hidup Habib Husen belum pernah menikah, sampai akhir hayatnya pada Kamis, 17 Ramadan 1169 Hijriah atau bertepatan dengan 27 Juni 1756 Masehi dalam usia kurang lebih 30–40 tahun.
Lokasi Kedua: Masjid Al Anshor
Masjid Jami’ Al Anshor atau yang lebih dikenal sebagai Masjid Pengukiran sesuai dengan nama jalannya, terletak di tengah-tengah pemukiman penduduk, dan jalan menuju masjid ini sedikit sulit karena berada di jalan yang sempit (gang). Masjid tertua di Jakarta dengan desain sederhana ini terletak di Jalan Pengukiran II, Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Masjid Jami Al Anshor dibangun oleh orang-orang Moor dari Malabar, India, pada pertengahan abad ke-17 (± 1648). Saat itu ada sebuah perkampungan yang mayoritas penghuninya adalah orang-orang koja ( kojah atau khoja, yang artinya pedagang) kaum Moor, yakni muslim dari pesisir Koromandel, India. Belakangan, orang-orang Arab dari Hadramaut juga turut berdatangan menghuni kampung yang kini dinamai Pekojan. Lahan untuk pendirian masjid juga berasal dari tanah wakaf seorang muslim keturunan India. Kata Al Anshor sendiri dari bahasa arab yang artinya adalah pendatang.
Masjid ini berdiri di atas lahan seluas 23x10 m, dengan luas keseluruhan bangunan setelah perluasan 17x10 m. Denah masjid masih sesuai aslinya yaitu empat persegi panjang, yang memanjang dari barat ke timur. Atap masjid berbentuk tumpang dua, dengan sebuah mustoko atau memolo menyerupai buah nanas yang dibuat dari tanah liat bakar. Pintu masuk berada di sisi timur dan selatan, yang masing-masing memiliki dua daun pintu dengan hiasan sederhana. Ruang utama yang masih asli berukuran 10x10 m dan berada di belakang ruang tambahan. Tiang penyangga atap sudah diganti dengan marmer, sedangkan galar (kayu penyangga yang melintang di bawah atap) masih asli, berupa 7 buah balok kayu jati lurus tanpa hiasan. Pada dinding timur yang merupakan pembatas antara ruang asli dan tambahan, terdapat dua buah jendela tanpa daun jendela, hanya berupa jeruji-jeruji kayu bersilinder yang bagian tengahnya menggelembung sedangkan ujungnya mengempis. Jendela dengan model yang sama juga ada di dinding sisi utara 2 buah dan barat 1 buah. Jendela model teralis kayu seperti yang ada di masjid ini merupakan pengaruh Eropa, dan beberapa masjid tua lainnya di Jakarta juga menggunakan jendela dengan gaya yang sama. Ukuran jendela 1,90x1,90 m. Dinding sisi selatan sebagian masih asli, tetapi jendelanya justru berupa kaca nako. Ruang mihrab Masjid Al Anshor berukuran 2x1,50 m, berlantai marmer warna putih. Bagian atas mihrab berbentuk setengah lingkaran, polos tanpa hiasan. Mimbar masjid berbentuk seperti meja, terbuat dari kayu, dan berwarna coklat. Di halaman belakang masjid, tepatnya sisi barat, terdapat makam tanpa identitas, kemungkinan pendiri Masjid Al Anshor yang berasal dari India. Makam berukuran 3x5 m, terdiri dari kijing atau jirat empat persegi panjang berbahan semen, dan nisan persegi yang bagian atasnya berbentuk kurawal.
Lokasi Ketiga: Masjid An Nawier
Masjid Pekojan merupakan salah satu masjid tua di Jakarta yang dahulu terletak di tengah-tengah perkampungan Arab asal Hadramaut (Yaman Selatan). Mereka datang ke Batavia tidak sekedar untuk berdagang melainkan juga menyebarkan agama Islam. Masjid yang terletak di Jalan Pekojan Raya No.71, Gg. II, Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, sekarang lebih dikenal dengan nama Masjid Jami’ An Nawier, yang artinya cahaya.
Masjid Pekojan atau Jami’ An Nawier ini dibangun tahun 1760 oleh seorang ulama asal Hadramaut bernama Sayid Abdullah bin Husein Alaydrus, yang namanya diabadikan menjadi sebuah nama jalan di Jakarta Pusat (Jalan Alaydrus). Tahun 1897 Syarifah Kecil atau Syarifah Fatimah binti Husein Alaydrus kemudian mewakafkan tanahnya untuk pengembangan masjid. Beberapa tulisan menyebutkan nama “Komandan” Dahlan sebagai pendiri masjid, tetapi jabatan komandan baru digunakan di Batavia sekitar tahun 1828. Ada kemungkinan ia yang memperluas areal masjid pada tahun 1850. Hubungan Dahlan disebut-sebut cukup dekat dengan masjid kuno Keraton Surakarta dan Kesultanan Banten, sehingga saat ada kerabat Keraton Surakarta atau ulama di Solo meninggal dunia maka beritanya akan sampai ke Masjid Pekojan. Kedekatan Dahlan dengan masjid Kesultanan Banten ditandai dengan seringnya para alim ulama asal Banten berkunjung ke masjid ini.
Masjid dikelilingi pagar tembok dan besi dengan pintu masuk halaman berada di sisi selatan dan barat laut. Luas tanah seluruhnya 2.470 m², dengan luas bangunan 1.500 m². Arsitektur Masjid An Nawier merupakan perpaduan Timur Tengah, Tionghoa, Eropa, dan Jawa. Pembangunannya melibatkan kontraktor Tionghoa dan Moor di Batavia. Gaya neo klasik Eropa pada masjid ini diperlihatkan oleh hiasan di bagian atas bangunan yang menghadap arah selatan. Terdapat lima buah hiasan berjajar yang membentuk setengah lingkaran terbuka, karena kedua ujung masing-masing hiasan tidak menyatu. Tiga buah yang posisinya ditengah memiliki hiasan mirip mahkota di bagian dalamnya, sedangkan di ujung kiri dan kanan, masing-masing berisi ornamen semacam kipas terbuka dengan ceplok bunga di bagian bawahnya. Atap masjid berbentuk limasan tunggal sebanyak 4 buah, 2 di sebelah utara, dan 2 sebelah selatan. Pada lisplang atau entablature atap bagian utara terdapat hiasan empat persegi, pelipit rata, ceplok bunga, dan bulan bintang dalam lingkaran. Hiasan lisplang atap sebelah selatan berupa bentuk setengah lingkaran dan persegi yang dihiasi bingkai, dan tengahnya berupa ceplok bunga dengan pelipit di bagian atas.
Pintu masuk menuju ruang utama di sisi selatan ada 3 buah berbentuk empat persegi panjang berukuran 3,5x2,3 m, sedangkan satu pintu masuk lagi ada di sudut barat berukuran 2,7x1,1 m. Pintu berbahan kayu dengan dua daun pintu, bagian atasnya diberi lubang angin dari bilah-bilah papan yang disusun vertikal. Denah ruang utama agak berbeda dengan masjid pada umumnya, yaitu berbentuk huruf ”L” seluas 1.170 m² yang terbagi menjadi sisi utara dan selatan. Hal ini disebabkan adanya sengketa kecil dengan pemilik tanah dekat lokasi masjid saat proses pembangunan berlangsung. Ruang utama juga tidak sejajar dengan arah mihrab. Tiang penyangga di dalam ruang utama berjumlah 33. Alas tiang berbentuk segi delapan, sedangkan tiangnya bulat dengan galur-galur vertikal, mirip tiang bangunan Eropa. Tiang yang berjajar dari arah barat ke timur (sisi utara) tingginya ± 4 m, sedangkan arah utara ke selatan (sisi selatan) ± 3,5 m.
Mihrab di sisi barat ditandai oleh 2 buah tiang persegi bergalur di sisi kiri dan kanan, yang menopang lengkungan dengan bangun segitiga di bagian paling atas. Bagian atas mihrab sebelah dalam bentuknya menyerupai kubah. Di sisi kanan bentuk lengkung muka mihrab terdapat hiasan kaligrafi dengan lafadz Allah, sedangkan sisi kiri berlafadzkan Muhammad. Pada bidang tengah segitiga terdapat hiasan bulan bintang, sedangkan bagian puncak bangun segi tiga hiasannya menyerupai kipas, begitu juga di ujung kiri dan kanan sudut segi tiganya tetapi berukuran lebih kecil, hanya seperempat lingkaran. Di sebelah kanan ruang mihrab terdapat mimbar kuno terbuat dari kayu berwarna cokelat tua dengan sentuhan kuning emas di beberapa bagian. Bentuknya mirip singgasana beratap dengan empat anak tangga. Hiasan mimbar berupa sulur-suluran, dan ada tulisan dalam huruf Arab yang artinya “Inilah mimbar tempat menyampaikan penerangan-penerangan agama dan nasihat yang benar”. Konon mimbar ini pemberian seorang sultan dari Pontianak.
Menara masjid berada di sisi timur laut, menyatu dengan ruang utama masjid sehingga seolah-olah muncul dari ruang utama. Atap menara berbentuk kerucut. Di sudut timur laut ada ruangan tempat kaki menara berukuran 4,6x4,5 m. Pintu masuk menara ada di bagian tubuh menara. Tubuh menara terbagi menjadi 3, yaitu:
- Bagian pertama berbentuk empat persegi panjang. Pintu terdapat di dinding selatan dengan tiang semu di sisi kiri dan kanannya, serta lubang angin berbentuk setengah lingkaran di bagian atas pintu.
- Bagian kedua berbentuk silinder dengan empat buah jendela yang atasnya berupa lengkungan. Di antara bagian pertama dan kedua terdapat lubang angin berbentuk belah ketupat mengelilingi badan menara.
- Bagian ketiga juga berbentuk silinder dengan diameter yang lebih kecil. Terdapat enam jendela berbentuk empat persegi panjang dengan pelipit setengah lingkaran.
Bentuk menara secara keseluruhan mirip mercusuar. Konon, pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, menara ini sering dijadikan tempat bersembunyi para pejuang dari kejaran tentara Belanda. Masjid ini juga mempunyai kolam untuk menampung air guna keperluan mensucikan diri (wudhu) sebelum melaksanakan ibadah. Semuanya ada 5, kolam lama ada di sisi barat dan timur, sedangkan sisi selatan (2 buah) dan utara baru. Kolam yang masih berfungsi adalah kolam sisi utara, selatan, dan barat yang terletak di bawah ruang pengurus masjid.
Lokasi Keempat: Rumah Era Belanda Milik Pak Hosein
Tidak jauh dari Masjid An-Nawier terdapat rumah yang terlihat tua dengan arsitektur gaya belanda yang khas, selesai maghrib kami diundang ke rumah tersebut yang dihuni oleh pak Hosein. Beliau beserta istrinya sangat ramah menceritakan tentang rumahnya dan sejarah garis keturunan keluarganya. Karena beliau adalah keturunan Arab yang memang sejak lama menghuni kawasan Pekojan. Beliau adalah generasi ke-enam yang menghuni rumah tersebut. Kami diberitahu bahwa rumah ini sebenarnya lebih panjang namun karena dibagi kepada keturunan yang lainnya sehingga luas bangunannya berkurang tidak sesuai luas asli pertama kali dibangun.
Terdapat banyak foto garis keluarganya, ada foto dengan gurunya, dan foto-foto tua lain yang menunjukan bahwa beliau merupakan keturunan dari pendatang Arab yang tinggal di Pekojan. Beliau juga menunjukan beberapa barang antik yang dimiliki oleh keluarganya, salah satunya adlah tempat membuat kopi yang antik dan banyak dicari orang namun beliau menjaga benda tersebut.